Oleh: Umar Sako Baderan, Dosen Administrasi Publik Universitas Muhammadiyah Gorontalo
AIIMNEWS.COM, (OPINI) – Kebijakan yang mewajibkan pegawai lulus Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja (PPPK), termasuk mereka yang telah lama bekerja di instansi pemerintah, untuk mengurus Surat Keterangan Catatan Kepolisian (SKCK) patut mendapat perhatian kritis.
Secara normatif, SKCK memang dimaksudkan untuk memastikan integritas moral dan rekam jejak hukum calon aparatur negara. Namun, penerapan syarat ini bagi pegawai lama justru menimbulkan persoalan rasionalitas kebijakan.
Pegawai yang sudah bertahun-tahun mengabdi di lingkungan birokrasi sejatinya telah diawasi melalui mekanisme disiplin internal, tercatat dalam sistem kepegawaian, serta terikat dengan aturan pengawasan instansi. Oleh karena itu, mewajibkan SKCK bagi mereka lebih tampak sebagai formalitas administratif daripada kebutuhan substansial.
Dari perspektif administrasi publik, kebijakan tersebut melahirkan dampak yang kontraproduktif. Lonjakan permintaan SKCK pasca pengumuman kelulusan P3K mengakibatkan membludaknya antrean di kantor kepolisian dan menurunkan kualitas layanan.
Selain itu, pegawai harus menanggung biaya transaksi tambahan berupa waktu, tenaga, dan biaya pengurusan dokumen. Lebih jauh, kebijakan ini menimbulkan kesan ketidakadilan karena menyamakan posisi pegawai lama dengan calon baru, padahal rekam jejak pengabdian mereka seharusnya menjadi indikator integritas yang lebih kuat.
Kondisi ini mencerminkan gejala policy inefficiency di mana kebijakan publik tidak memberikan nilai tambah, melainkan justru memperbesar beban birokrasi.
Jika ditinjau dari aspek regulasi, Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2023 tentang Aparatur Sipil Negara telah menegaskan bahwa rekrutmen ASN harus menjunjung tinggi prinsip efisiensi, efektivitas, akuntabilitas, dan non-diskriminasi. Demikian pula, Peraturan Pemerintah Nomor 49 Tahun 2018 tentang Manajemen PPPK mengatur bahwa persyaratan seleksi harus sesuai kebutuhan jabatan dan adil bagi semua pihak.
Selain itu, pengawasan integritas pegawai lama dapat dilakukan melalui mekanisme yang sudah ada, yakni Aparat Pengawasan Intern Pemerintah (APIP) dan aturan disiplin ASN sebagaimana diatur dalam PP Nomor 94 Tahun 2021. Dengan demikian, persyaratan SKCK bagi pegawai lama tidak memiliki dasar hukum yang kuat untuk dijadikan syarat mutlak.
Dalam konteks inilah, diperlukan formulasi kebijakan yang lebih adaptif dan berkeadilan. SKCK sebaiknya difokuskan hanya pada CPNS dan P3K eksternal baru, sementara pegawai lama cukup diverifikasi melalui rekam jejak kepegawaian serta sistem pengawasan internal.
Alternatif kebijakan ini tidak hanya akan mengurangi beban administratif, tetapi juga meningkatkan kualitas pelayanan publik serta memperkuat prinsip good governance. Dengan diferensiasi persyaratan yang jelas, negara dapat menunjukkan keberpihakan pada efisiensi birokrasi tanpa mengurangi komitmen terhadap integritas aparatur.
(ha/aiim)